(dimodifikasi dari Policy Brief untuk Presiden Jokowi)
oleh Dr. Hilmi Sulaiman Rathomi
Seusai dibubarkannya kelompok kerja (pokja) yang bertugas mengakselerasi kinerja tim transisi Jokowi-JK pada 28 September lalu, berbagai pertanyaan tentu bermunculan terkait apa saja yang sudah dihasilkan. Setelah bekerja secara intensif selama lebih dari 1,5 bulan, masyarakat tentu mengharapkan adanya hasil yang progresif. Berbagai kajian yang dilaksanakan oleh sejumlah pokja yang dibentuk diharapkan mampu mempertajam kebijakan yang akan diambil oleh presiden terpilih. Jika pada masa kampanye terdapat banyak janji politik yang dilontarkan oleh pasangan Jokowi-JK yang berhasil memikat hati rakyat, maka pekerjaan rumah saat ini tentu mewujudkan janji-janji tersebut agar tujuan menyejahterakan rakyat dapat tercapai segera. Masalahnya, diantara berbagai janji politik yang diucapkan, tidak semuanya dapat diimplementasikan dengan mudah, bahkan tidak sedikit kalangan yang meragukan beberapa program ala Jokowi-JK.
Salah satu program prioritas dari pemerintahan Jokowi-JK dalam bidang kesejahteraan masyarakat adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS). Banyaknya pertanyaan yang muncul mengenai diferensiasi dan added value KIS dibandingkan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang saat ini baru mulai bergulir, tentu harus direspon tepat oleh Jokowi-JK. Hal itu pula yang menyebabkan tim transisi akhirnya membentuk satu pokja khusus yang membahas persoalan KIS. Namun, hingga dibubarkannya semua pokja, termasuk pokja KIS, kejelasan mengenai konsep KIS masih saja belum terjawab, terutama tentang apa kelebihan dan perbedaannya dibandingkan JKN.
Redefinisi Cakupan Universal
Dalam sebuah publikasi bersama dengan World Bank yang berjudul “Monitoring Progress Towards Universal Health Coverage at Country and Global Levels”, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan ulang mengenai definisi cakupan universal (universal health coverage) yang merupakan tujuan akhir dari skema JKN. Jika selama ini cakupan universal hanya diterjemahkan sebatas dimilikinya jaminan kesehatan dalam konteks asuransi sosial oleh seluruh penduduk, maka definisi yang lebih tepat adalah kondisi dimana seluruh penduduk dapat menikmati seluruh layanan kesehatan esensial yang dibutuhkan tanpa kendala finansial. Dengand emikian, maka konsep cakupan universal tidak hanya meliputi jaminan berobat atau pelayanan kesehatan yang bersifat perorangan, tetapi juga jaminan terhada playanan kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif, seperti KB,sanitasi, imunisasi, akses air bersih, kesehatan lingkungan, dan lain sebagainya.
Tentu bukan tanpa alasan mengapa akhirnya WHO mendefinisikan konsep cakupan universal dengan memasukkan aspek layanan kesehatan promotif-preventif. Tidak sedikit bukti yang didapatkan dari hasil kajian di berbagai negara yang menunjukkan akhirnya suatu negara akan bangkrut setelah mengimplementasikan model asuransi sosial tanpa diimbangi intervensi lain yang komprehensif, yakni layanan promosi kesehatan. Tanpa adanya intervensi berupa program promotif-preventif di sektor hulu yang bertujuan menjaga agar penduduk tidak mudah jatuh sakit, maka berapapun anggaran yang dialokasikan untuk jaminan kesehatan tidak akan mencukupi.
Kondisi terkini yang dijumpai dari sisi kepesertaan JKN yang tercatat di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menambah kekhawatiran akan terjadinya kebangkrutan kas negara. Pada saat ini, dalam hal pendaftaran peserta BPJS, terjadi kondisi adverse selection, dimana mayoritas pendaftar peserta baru BPJS adalah orang-orang yang sudah terlanjur mengalami kejadian katastropik dan membutuhkan biaya berobat yang besar. Hal ini tentu sangat merugikan dari sisi pengelolaan keuangan JKN, mengingat jumlah biaya yang dibayarkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan premi yang diterima BPJS. Padahal, skema pengelolaan keuangan JKN akan sehat ketika mayoritas peserta baru yang mendaftar adalah orang sehat yang berusia muda, dengan tingkat risiko sakit yang relatif rendah. Jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus, tentu kebangkrutan yang merupakan skenario terburuk pengelolaan keuangan JKN hanya tinggal menunggu waktu.
Added value Konsep Kartu Indonesia Sehat
Publik tentu sangat mengingat jelas bahwa KIS merupakan program andalan Jokowi untuk mengatasi permasalahan bangsa di bidang kesehatan. Di tengah-tengah simpang siur mengenai konsep KIS yang justru dikritisi banyak praktisi kesehatan dan akhirnya terancam aspek implementasinya, publikasi WHO yang disebutkan di atas sebetulnya adalah angin segar baik bagi Jokowi maupun seluruh rakyat Indonesia. Jika merujuk pada publikasi WHO di atas, maka konsep KIS dapat diskenariokan menjadi suatu terobosan inovatif yang revolusioner dalam dunia kesehatan di Indonesia, yakni upaya jaminan kesehatan untuk mencapai cakupan universal yang sesungguhnya, bukan hanya di aspek kuratif dan upaya kesehatan perorangan saja. Layanan kesehatan esensial di sektor hulu yang berupa program-program promotif-preventif sangat mungkin diintegrasikan dalam konsep KIS, yang akan menjadikannya memiliki added value yang jauh lebih istimewa dibandingkan JKN yang hanya mengurusi perkara pengobatan.
Untuk mewujudkan terobosan ini, tentu ada beberapa prasyarat yang harus lebih dahulu dipenuhi. Adanya perhitungan biaya satuan dari berbagai program promotif-preventif serta penentuan sumber dana apa yang akan digunakan untuk membiayai program tersebut merupakan hal yang paling esensial agar konsep ini dapat dilaksanakan. Mengingat tujuannya yang sangat bermanfaat, tentu akan banyak ahli serta praktisi kesehatan yang bersedia dilibatkan dalam mencarikan solusi bagi kedua hal ini. Jika kedua hal ini mampu diselesaikan dan ditindaklanjuti, dengan implementasi model jaminan kesehatan yang mengakomodasi definisi cakupan universal dari WHO, KIS tentu akan menjadi realisasi janji politik yang monumental bagi pemerintahan Jokowi-JK. KIS akan menjadi salah satu mozaik terpenting dalam proses revolusi mental, yakni revolusi menuju Indonesia Sehat.