Disampaikan dalam Simposium dan Munas II Perhimpunan Tenaga Profesi Kesehatan Muslim Indonesia-Islamic Medical Association and Network of Indonesia (Prokami-IMANI).
Legalitas Berobat
Allah swt berfirman terkait dengan madu, “Dikeluarkan dari perutnya minuman yang beragam warna nya, di dalam nya ada obat bagi manusia”. (QS. An-Nahl ayat 69).
Imam Qurtubi menjelaskan tentang makna ayat tersebut, “Dalam firman Allah swt (Di dalamnya ada obat) merupakan dalil dan petunjuk boleh dan disyariatkannya berobat dengan meminum obat atau lainnya. (Tafsir al-Qurtubi, volume 1 hlm 138)
Dalam banyak riwayat juga dijelaskan bahwa nabi Muhammad saw membolehkan bahwa memerintahkan kepada para sahabat untuk berobat.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Jabir bin Abdillah ra, beliau menceritakan bahwa nabi saw bersabda, “Setiap penyakit itu ada obatnya. Apabila tepat obat untuk penyakit tersebut, akan sembuh dengan ijin Allah ‘azza wa jalla”. (Syarah Shahih Muslim, volume 14 hlm 191)
Seorang sahabat, Usamah bin Syariik ra pernah meriwayatkan bahwa suatu kesempatan datang kepada nabi saw beberapa orang Arab Badui. Mereka bertanya kepada nabi saw, “Apakah kami perlu berobat?”. Nabi saw menjawab, “Berobatlah kalian, karena Allah swt tidak meletakan penyakit melainkan menyediakan obatnya kecuali satu penyakit, yaitu penyakit kematian”. (HR. Abu Daud, lihat ‘Aun al-Ma’buud volume 10 hlm 334)
Berdasarkan hadits ini maka Imam Nawawi berpandangan bahwa berobat itu adalah sesuatu yang mustahabb atau disenangi, demikian juga pandangan ulama mazhab Syafi’I lainnya. (Lihat Syarah Shahih Muslim). Imam Abu Ishaq asy-Syaerozy, pengarang kitab al-Muhadzab berpandangan bahwa, “Jika seorang muslim sakit, maka ia wajib bersabar dan disukai jika berobat”. (al-Muhadzab volume 5 hlm 94)
Dengan demikian berobat walaupun pada hokum asalnya adalah dibolehkan namun bisa menjadi wajib dengan beberapa penjelasan :
- Apabila berobat atau tindakan medis itu adalah solusi dari sakit seseorang yang kuat dugaan akan membahayakan atau membinasakan jika tidak berobat atau tidak ada tindakan medis.
- Dalam muamalat dan masalah duniawi maka hukum itu berdasar dugaan kuat. Tidak mesti sesuatu yang pasti atau yakin.
- Pengobatan dengan obat tertentu yang telah berhasil menyembuhkan penyakit tertentu dalam banyak kasus, maka bisa dikatakan bahwa secara sunnah kauniyah bahwa obat tersebut adalah penawar untuk penyakit tadi. Sehingga berobat dengannya bisa menjadi wajib.
Penggunaan Zat Yang Haram Untuk Berobat
Dari pandangan-pandangan ulama terkait hukum penggunaan zat haram untuk berobat, maka pendapat yang sesuai adalah pendapat yang membolehkan dengan persyaratan. Pendapat ini disampaikan oleh fuqoha mazhab Hanafi (seperti Imam al-‘Ainiy dll) dan mazhab Zohiri (seperti Imam bnu Hazm dll). Syarat yang mereka sampaikan ialah :
- Tidak ada atau belum ada nya alternative obat dari zat yang halal
- Direkomendasikan oleh dokter yang dipercaya, kompeten yang menyatakan bahwa penggunaan obat tersebut mendesak dan belum ada obat lainnya.
Beberapa kasus yang terjadi di masa nabi saw terkait penggunaan zat haram untuk berobat atau tindakan medis :
- Diriwayatkan oleh Imam Nasai dalam kitab Sunan nya sebuah kejadian yang menimpa ‘Arfajah bin As’ad. Beliau terluka hidungnya di yawm al-kilab (mata air) pada masa jahiliyah. Ia mengganti batang hidungnya dengan perak. Maka nabi saw memerintahkan kepadanya untuk menggunakan emas. (Sunan Nasai, volume 8 hlm 142)
- Sahabat Anas bin Malik ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw memberi keringanan (rukhsoh) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam menggunakan baju dari sutera karena gatal-gatal yang mereka derita. (HR. Nasai dalam Sunan nya volume 8 hlm 178)
Dari dua kejadian ini menunjukan bahwa penggunaan emas dan sutera yang sebenarnya haram bagi laki-laki menjadi boleh untuk pengobatan dan alasan medis. Kebolehan ini bukan saja untuk ketiga sahabat, namun tentunya menjadi kaedah umum bagi setiap muslim yang dalam keadaan darurat direkomendasikan berobat dengan zat yang haram.
Bahkan dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyah (Ensiklopedi Fatwa-fatwa di India) dinyatakan : “Dibolehkan untuk kegunaan pengobatan minum darah, air seni dan bangkai jika direkomedasikan oleh dokter muslim bahwa obatnya dalam hal-hal tersebut, tidak didapat obat dari jenis yang halal. Jika penggunaan hal yang haram itu dengan maksud mempercepat penyembuhan, maka ada dua pendapat di kalangan Mazhab Hanafi; ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkan”. (al-Fatawa al-Hindiyah, volume 5 hlm 128)
Obat Campuran Halal dan Sesuatu Yang Haram
Beberapa obat modern ada yang tercampur dengan alcohol atau sesuatu najis atau hal lain yang diharamkan, baik berupa makanan atau minuman. Dalam masalah ini maka bagaimana hokum penggunaannya dalam keadaan darurat?
Saat tidak ada alternative lain
Jika tidak ada alternative selain obat yang tercampur tersebut, maka kondisi ini dibolehkan. Karena jika sesuatu yang haram saja dibolehkan untuk pengobatan, maka apalagi jika zat yang haram itu bercampur dengan sesuatu yang halal.
Apabila ada alternative
Saat ada alternative menggunakan obat yang tidak tercampur dengan sesuatu yang haram, namun sang penderita kesusahan memperolehnya karena langka obat atau mahal harganya, atau dalam kondisi butuh akan obat tersebut namun belum sampai ke taraf darurat maka kaedahnya adalah :
Apabila sesuatu yang haram tersebut telah tercampur dan hilang zat nya, tidak ada yang bekas, rasa atau bau nya, maka obat tersebut BOLEH digunakan. Karena sebenarnya zat haram tersebut tidak lagi wujud. Berikut beberapa pandangan fuqoha(pakar fiqh) dari berbagai mazhab :
- Imam al-Kaasaniy saat menjeleaskan tentang najis yang mengalami istihalah. [استحالة] “istihalah” yaitu perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang telah berubah sifat dan namanya. Contohnya adalah jika kulit bangkai yang najis dan haram disamak, maka bisa menjadi suci atau jika khamr menjadi cuka -misalnya dengan penyulingan- maka menjadi suci. Beliau berkata, “Benda-benda najis ketika berubah dan berganti sifat (rasa, bekas, dan bau) dan kandungannya, maka benda tersebut telah keluar dari kenajisan nya. Najis itu adalah nama yang dikenakan hukum karena zat yang terkandung. Hukum najis akan terangkat dan berubah jika sifatnya juga berubah”. (al-Badai’ karya Imam al-Kaasaniy volume 1 h;, 85)
- Imam Ibnu Hazm berkata : “Apabila sebuah najis mengalami istihalah atau perubahan zat najis atau keharamannya, maka batal lah nama yang menajdikan status hukumnya dilarang. Berganti kepada nama dan status hukum yang halal dan suci. Benda tersebut tidak lagi najis atau haram. Akan tetapi sudah menjadi sesuatu yang baru.” (al-Muhalla karya Imam Ibnu Hazm, volume2 hlm 112)
- Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan : “Khabaits yang diharamkan Allah swt seperti bangkai, darah, babi dan lainnya apabila terjatuh di air atau aliran dan mati. Bagian-bagian nya tercerai dan lebur dengan aliran air, maka tidak lagi wujud hal tersebut lagi. Baik wujud bangkai, darah atau babi. Begitu juga khamr apabila hilang zat nya dan bercampur, maka peminumnya tidak termasuk peminum khamr. (Fatawa Ibnu Taimiyah volume 1 hlm20)
- Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmu’ tentang masakan yang tercampur dengan daging manusia dan lebur dengan masakan tersebut, “Tidak haram masakan tersebut, karena benda tersebut (daging tadi) sudah tercampur, lebur. Serupa dengan air kencing dan lainnya yang tercampu ke dalam air lebih dari 2 qullah, maka dibolehkan untuk digunakan sepanjang tidak berubah. Karena kencing yang sudah tercampur dan tidak Nampak lagi sama dengan tiada”. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi, volume 9 hlm 62)
- Imam Ibnul Qayyim menyatakan : “Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang terkandung pada benda tersebut [saat itu]. Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” [I’lamul muwaqqin ‘an rabbil ‘alamin karya Imam Ibnul Qayyim, volume 1 hlm 298)
Dari berbagai penjelasan para ulama dia atas maka benda najis atau khabaits dan seluruh yang diharamkan apabila bercampur dengan obat-obat yang halal zatnya, atau dididihkan atau diproses sehingga menguap atau hilang dan tidak ada lagi sifat benda tersebut berupa bekas, rasa dan bau, maka obat tersebut dikategorikan obat yang mubah dan dibolehkan untuk digunakan.
Apabila tidak hancur atau zat yang haram tersebut masih ada sifatnya baik karena porsi nya yang lebih banyak atau begitu keras dan kuat kandungannya, maka ini masuk dalam penjelasan sebelumnya yaitu tentang hukum menggunakan zat yang haram : maka itu dibolehkan dengan syarat bahwa obat tersebut mendesak (darurat) penggunaannya, tidak ada alternative obat yang mubah dan direkomendasikan oleh dokter yang terpercaya.
Sekilas Tentang Hukum Imunisasi
Setelah kita mengetahui panduan syariat akan berobat, maka tentu akan memberikan pencerahan dalam melihat status hukum imunisasi.
Imunisasi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikanpemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).
Adapun Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.
Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.
Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.
Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.
Selain dari sisi manfaat baik medis maupun financial, maka pada dasarnya Islam meminta kepada umatnya untuk melakukan penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “ Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).
Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit
Almarhum Syekh bin Baaz pernah ditanya akan tentang tindakan pemberian obat sebelum terjadi sakit (untuk pencegahan), maka beliau menjawab :
“La ba’sa (tidak mengapa) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”
Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.
[sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]
Demikian semoga bermanfaat dalam diskusi ini.
Wallahu A’lam
Rujukan :
- Tafsir al-Qurtubi
- Shahih Bukhari syarah Imam al-‘Ainiy
- Shahih Muslim syarah Imam Nawawi
- Sunan Abu Daud syarah Imam al-Mubarakfuury
- Sunan Nasai
- Al-Majmu syarah al-Muhadzab
- Fatawa Ibnu Taimiyah
- I’lamul Muwaqqi’in
- Al-Muhalla
- Al-Badai’
- Fatawa Hindiyah
- Al-Mufashol fi Ahkamil Mar’ah
- Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah