Loading...
tulisan di tahun 2010. masih cukup relevan. Walaupun perlu ada tambahan sedikit sekarang, jika anda peserta JKN, pastikan konsultasi ke dokter keluarga dulu sebelum ke Rumah Sakit, apakah kondisi anda termasuk ke dalam kriteria gawat darurat BPJS atau tidak. Salah salah, JKN anda tidak dapat digunakan di Rumah Sakit..
dilema…
Ketika Harus ke UGD
REPUBLIKA, Minggu, 07 November 2010 pukul 09:00:00
Reiny Dwinanda
Persoalan Umumnya Berakar pada Ketidaklancaran Komunikasi antara Dokter-Pasien.
Langkah Budiman terhenti sejenak. “Jangan ke RS X, Unit Gawat Daruratnya (UGD) kacau. Paling cuma diinfus. Nggak akan tertolong, deh,” celetuk seorang tetangga diiyakan yang lainnya. Mendapat saran seperti itu, Budiman menjadi ragu untuk membawa putranya ke RS terdekat. Ia pun melarikan si kecil yang sedang lemas karena muntaber ke RS lain yang lebih jauh namun cukup baik citranya.
Tepatkah tindakan Budiman? Dari kaca mata medis, langkah ayah satu anak ini keliru. “Saat darurat, carilah RS yang paling dekat,” cetus Sekjen Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), dr Ahmad Jamaluddin.
Dalam kasus kegawatdaruratan, waktu tempuh ke RS sangat berperan dalam membantu menyelamatkan nyawa pasien. Sedapat mungkin menyegerakannya sampai ke UGD. “Jika kondisi gawatnya sudah teratasi, silakan gunakan hak Anda untuk mendapatkan perawatan di RS mana pun,” tutur Ahmad.
Namun, bagaimana jika pelayanan di UGD tersebut tidak memuaskan? Ahmad menyarankan agar pasien atau keluarganya menyatakan langsung keluhannya kepada dokter ataupun layanan pelanggan (customer service ). “Perlu diketahui luar jam kantor, dokter yang bertugas di UGD sekaligus mewakili direktur RS,” imbuh CEO Pondok Indah Health Care Group, dr Yanwar Hadiyanto dalam kesempatan berbeda.
Tidak Lancar
Memakai sudut pandang pasien, Yanwar mengerti masyarakat datang ke RS dengan ekspektasi tertentu. Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat memberikan kepercayaan kepada tenaga medis. “Jika nanti terbukti benar ada kekeliruan, gunakan hak untuk bertanya dan jika tidak puas silakan layangkan komplain atau pakai opsi berikutnya, seperti mengganti dokter tersebut dengan dokter yang lain.”
Dokter dan perawat di UGD merupakan tenaga medis yang terlatih. Sebagian besar RS mensyaratkan mereka harus memiliki kemampuan  Advance Cardiac Life Support (ACLS) dan  Advance Trauma Life Support (ATLS). “Mereka punya kompetensi menangani kegawatdaruratan yang terkait jantung dan trauma,” lanjut Ahmad.
Andaikan yang Anda keluhkan ialah dokter UGD, Ahmad menyarankan agar masyarakat membicarakannya kepada yang bersangkutan. Minta dokter memberi informasi sejelas mungkin. “Pasien berhak mendapatkan penjelasan tentang diagnosis dan rencana tindakan.”
Ahmad mengatakan, persoalan di RS lebih sering berakar pada ketidaklancaran komunikasi antara dokter-pasien. Bisa jadi banyaknya pasien atau konsentrasi pada tindakan medis membuat dokter kurang leluasa berbicara pada keluarga pasien. Karenanya, perlu hubungan saling menghargai antara pasien/keluarga dengan dokter. “Pasien diharapkan tidak ragu untuk bertanya apabila membutuhkan informasi mengenai kondisi pasien dan dokter juga jangan alergi terhadap pertanyaan pasien/keluarga pasien,” komentar Ahmad.
Informed Consent
Di sejumlah rumah sakit besar, masyarakat harus menandatangani lembar  informed consent sebelum keluarganya mendapatkan tindakan dari dokter. Formulir tersebut menerangkan persetujuan tindakan medis. “Semua tindakan yang sifatnya invasif, seperti memasang infus, harus didahului dengan penandatanganan informed consent,” cetus Ahmad.
Sebagian rumah sakit lainnya tidak memberlakukan ini sebagai standar prosedur. Persetujuan lisan saja sudah cukup. “Namun, terkadang soal keharusan meneken  informed consent itu tidak dijelaskan oleh pihak rumah sakit hingga pasien menunggu sekian lama tanpa ada tindakan yang berarti untuknya,” keluh Budiman.
Sementara itu, dalam kasus yang harus ditangani secara mendesak, dokter terkadang menomorduakan  informed consent demi menyelamatkan nyawa pasien. Pada pasien yang datang dengan kesulitan bernapas, misalnya. “Demi menyelamatkan nyawa, pasien harus langsung dilancarkan jalan napasnya tanpa meminta persetujuan keluarganya terlebih dulu,” urai Yanwar.
Contoh lain,  pemasangan infus harus didahului dengan penandatanganan informed consent . Namun, bisa juga secara lisan saja. ”Namun, itu tergantung kebijakan rumah sakit masing-masing,” tambahnya. Dokter dan perawat harus memberikan pertolongan pada siapa pun yang datang dengan kondisi gawat darurat ke ruang emergensi. Biaya pengobatan atau jaminan tidak boleh dipertanyakan. “Prinsipnya, beri bantuan terlebih dahulu,” tegas Yanwar.
Lantas, bagaimana jika rumah sakit tersebut tidak bisa membantu perawatan pasien hingga kondisinya membaik? Dengan alasan keterbatasan biaya atau tidak tersedianya kamar isolasi, misalnya. “Kondisi gawat daruratnya harus ditangani lalu RS dapat membantu menghubungi RS lain yang memiliki fasilitas seperti yang dibutuhkan,” jelas Yanwar.
Pertolongan di Masyarakat
Sering kali, dokter tidak bisa berbuat banyak di ruang emergensi. Terlebih, jika kondisi pasien sudah sangat parah. “Itu sebabnya masyarakat juga harus mempelajari cara pertolongan pertama pada kecelakaan atau kegawatdaruratan lainnya,” tutur dr Ahmad Jamaludin yang pernah menjadi pengajar Pertolongan Pertama pada Kegawatan dan Kedaruratan (P2K2) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Tingkat keselamatan pasien, lanjut Ahmad, sangat ditentukan dengan penanganan pertama di masyarakat. Cardio-Pulmonary Resuscitation (CPR), misalnya. “Akses pasien ke RS seperti ambulans yang datang terlambat juga turut berperan.”
Dokter UGD bertugas mempertahankan kondisi pasien sampai dokter spesialis tiba. Ia juga bisa melakukan diskusi per telepon dengan konsulennya. “Tentunya keluarga pasien punya hak untuk mengetahui rencana pengobatannya,” imbuh Ahmad yang meraih penghargaan dari Menteri Kesehatan RI untuk Tim Kesehatan Penanggulangan Darurat Pangan Kab. Yahukimo, Papua tahun 2006.
Siapa yang Dilayani Lebih Dahulu?
Di ruang emergensi, keluarga tentu mengharapkan pasien medapatkan pertolongan yang cepat dan tepat. Tetapi, ada saja kejadian pasien yang merasa ditelantarkan di ruang UGD.
Tanpa menutup kemungkinan itulah yang memang sedang terjadi, RS yang sudah terakreditasi sebetulnya mempunyai standar pelayanan. “Di UGD RS Umum Daerah, contohnya, dalam lima menit pasien yang mengalami gangguan ABC harus sudah ditolong,” ujar dr Ahmad Jamaludin yang juga Dokter UGD RSIA Muhammadiyah, Jakarta Selatan itu.
Sementara itu, pasien tanpa kegawatan ABC dilayani maksimum 30 menit setelah kedatangannya ke UGD. Sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit World Health Organization, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI tahun 2001, indikator mutu pelayanan rumah sakit dapat dipantau dari “Angka Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat”. “Pelayanan pertama gawat darurat dikatakan terlambat apabila pelayanan terhadap penderita gawat-darurat yang dilayani dengan tindakan  life saving oleh petugas gawat darurat lebih dari 15 menit,” papar Ahmad.
Di ruang UGD, Anda tidak akan menemukan nomor antre. Dokter akan mencermati siapa yang harus dilayani lebih dahulu berdasarkan berdasarkan prioritas kegawatannya ( triage ). “Definisi gawat darurat ini bisa berbeda dengan persepsi masyarakat,” tutur Ahmad. Gawat darurat-tidaknya seseorang dilihat dari kelancaran ABC yakni  airway (jalan napas),  breathing (pernapasan), circulation (sirkulasi). Ini merupakan standar yang berlaku umum.
“Kami memastikan pasien tidak sukar menghirup oksigen, tidak terjadi henti napas, dan tidak ada masalah sirkulasi cairan di tubuhnya,” urai Ahmad yang menjadi pengajar Emergency First Aid Course Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Jakarta ini. Seperti apa urutan prioritasnya di rumah sakit? Berikut penjelasan dari dr Yanwar Hadiyanto,  chief executive officer Pondok Indah Healthcare Group:
Prioritas I: Pasien gawat darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Termasuk di dalamnya kasus:
* Henti napas
* Henti jantung
* Cedera kepala berat dengan syok
* Cedera dada berat dengan syok
* Cedera perut berat dengan syok
* Perdarahan hebat dengan syok
* Pasien kejang dan tak sadar
* Patah tulang terbuka dengan perdarahan hebat
* Luka bakar lebih dari 30 persen, bagian muka dan genital kurang dari satu persen
Prioritas II: Pasien gawat tidak darurat
Pasien dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan segera. Contohnya:
* Cedera yang dipastikan tidak akan mengancam jiwa seperti patah tulang tidak dengan syok (perdarahan ringan)
Prioritas III: Pasien darurat tidak gawat
Pasien yang mengalami gangguan kesehatan secara tiba-tiba tetapi tidak mengancam jiwa dan anggota badannya. Contoh:
* Panas lebih dari 38 derajat Celsius
* Sakit perut hebat
* Diare lebih dari 10 kali
* Luka robek, luka lama
* Asthma
Prioritas IV: Pasien tidak gawat tidak darurat
Kondisi sakit biasa, tidak terjadi secara tiba-tiba, tidak mengancam nyawa bila tidak mendapat pertolongan secepatnya. Contohnya:
* Pusing
* Batuk
* Pilek
* Panas kurang dari 38 derajat Celsius.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these <abbr title="HyperText Markup Language">html</abbr> tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

*