Kontroversi tentang halal-haram vaksin yang (kembali) memanas akhir-akhir ini, salah satunya disebabkan oleh sebagian vaksin yang diketahui mengandung gelatin yang berasal dari babi (porcine-derived gelatine). Inilah yang membuat (sebagian) umat muslim ragu terhadap status kehalalan vaksin. Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini kami berusaha untuk membahas permasalahan tersebut menurut tinjauan syariah.
Mengenal Gelatin dan Vaksin yang Mengandung Gelatin
Gelatin adalah bahan yang diperoleh dari jaringan kolagen binatang. Jaringan kolagen tersebut berasal dari bagian tulang keras, tulang rawan, tendon, atau kulit. Gelatin yang terdapat di dalam vaksin adalah gelatin murni dan telah mengalami proses hidrolisis (reaksi pemecahan dengan molekul air [H2O]) (hydrolized gelatine). Kemurnian gelatin antara lain ditunjukkan dengan tes yang tidak bisa lagi mendeteksi DNA babi. Hal ini menunjukkan bahwa sumber asal gelatin tersebut (yaitu babi), tidak bisa dideteksi lagi. [1]
Sebagian vaksin mengandung gelatin yang berasal dari babi. Berbeda dengan enzim tripsin yang tidak lagi ditemukan di produk akhir vaksin, gelatin memang terkandung dalam produk akhir vaksin (yang masuk ke dalam tubuh kita). Gelatin ditambahkan ke dalam vaksin tertentu sebagai stabilizer, yaitu untuk melindungi antigen vaksin dari perubahan suhu yang ekstrim, misalnya vaksin yang megandung virus hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccines). Dengan adanya stabilizer, vaksin tetap aman dan efektif digunakan selama proses distribusi dan penyimpanan.
Sebagian kecil vaksin yang mengandung gelatin dari babi, misalnya vaksin MMR (merk VaxPro®, MMR II®), vaksin MMR-varicella (merk ProQuad®), vaksin influenza (merk Fluenz®, Fluzone®, Flumist®), vaksin herpes zooster (merk Zostafax®), vaksin varicella (merk Varivax®), dan vaksin tifoid (merk Vivotif®).[2] Terdapat vaksin yang mengandung gelatin bersumber dari sapi (bovine-derived gelatine), yaitu vaksin rabies merk RabAvert®.[3]
Gelatin babi dalam vaksin tidak bisa begitu saja diganti dengan gelatin dari sumber lain, misalnya sapi. Ketika suatu vaksin (yang diproduksi oleh perusahaan tertentu dan didaftarkan dengan merk tertentu) telah (disetujui) menggunakan gelatin yang bersumber dari babi, maka komposisi tersebut tidak boleh diganti seenaknya. Jika gelatin tersebut ingin diubah, maka vaksin tersebut bisa jadi (jika diperlukan) harus diulang lagi proses uji klinisnya untuk menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak berpengaruh terhadap keamanan dan efektivitas vaksin. Hal ini berlaku pula jika ingin melakukan perubahan di komponen vaksin lainnya. Oleh karena itu, mengembangkan vaksin baru dengan stabilizer baru, tentu bukan perkara yang mudah.
Mengenal Konsep Istihalah
Sebelum membahas tentang status gelatin, kita perlu mengenal secara singkat tentang konsep istihalah (transformasi) dalam ilmu fiqh. Istihalah adalah,
تغيّر الشّيء عن طبعه ووصفه
“Berubahnya sesuatu dari tabi’at atau sifatnya (yang awal).”
Istihalah terjadi pada benda najis jika sifat-sifat najis yang ada pada zat tersebut hilang karena berubah menjadi zat baru yang berbeda sifatnya dari zat awal. Para ulama berbeda pendapat, jika suatu benda najis berubah sifat karena proses istihalah, apakah benda najis tersebut menjadi (dihukumi) suci? Ulama madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat dalam madzhab Hambali, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (zat) dapat menjadi suci dengan istihalah. Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis ‘ain (zat) tidaklah dapat menjadi suci dengan cara istihalah.
Dari ke dua pendapat tersebut, yang lebih tepat (lebih kuat) adalah pendapat pertama, yang menyatakan bahwa benda najis dapat berubah menjadi suci jika mengalami istihalah.[4] Berdasarkan pendapat ini, maka minyak bumi tidaklah benda najis meskipun berasal dari bangkai hewan yang terpendam ribuan tahun. Sedangkan status bangkai hewan adalah najis. Demikian pula abu bekas pembakaran benda najis dihukumi suci.
Perbedaan Pendapat para Ulama Kontemporer tentang Gelatin yang Berasal dari Babi
Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum gelatin yang berasal dari babi. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh “the Islamic Organization of Medical Sciences” di Kuwait tahun 1995, lebih dari 100 ulama dari berbagai negara yang hadir menyepakati bahwa gelatin babi hukumnya halal. Argumentasi utama mereka adalah gelatin babi telah mengalami proses istihalah, atau telah mengalami proses perubahan (transformasi) menjadi zat baru (gelatin) yang berbeda dari zat asalnya (kolagen).[5] Termasuk yang menghadiri konferensi tersebut adalah Syaikh Dr. Mohammad Sayed Tantawi (mufti Al-Azhar) dan Dr. Yusuf Qaradhawi (Qatar). Fatwa inilah yang sering kita temukan di berbagai website untuk menunjukkan (dan meyakinkan) ke-halal-an vaksin bagi umat muslim.[6]
Dalam salah satu fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala, beliau menyatakan bahwa gelatin telah mengalami istihalah, sehingga halal dikonsumsi, meskipun berasal dari bahan najis. Beliau menyatakan ketika ditanya tentang hukum memakan permen yang mengandung gelatin, beliau menjawab,
الجيلاتين منه ما هو نباتي ، وهذا لا حرج في استعماله ، ولا في تناول ما اشتمل عليه .
ومنه ما هو حيواني ، وهذا فيه تفصيل ، وكيفما كان فلا حرج في تناول ما اشتمل عليه لأنه إن كان من ميتة ونحوها من المحرمات فقد تحول إلى مادة أخرى مختلفة الصفات والخصائص .
“Sebagian gelatin berasal dari sumber tumbuhan. Tidak mengapa (boleh) menggunakan gelatin ini atau mengkonsumsi makanan yang mengandung gelatin (dari tumbuhan) ini. Sebagian gelatin lainnya berasal dari hewan, yang (hukumnya) membutuhkan rincian. Bagaimanapun kondisinya, tidak mengapa mengkonsumsi (makanan) yang mengandung gelatin (dari hewan), karena jika berasal dari bangkai atau (hewan) haram lainnya, gelatin tersebut telah mengalami istihalah (transformasi) menjadi substansi lain yang memiliki karakteristik yang berbeda.” [7]
Namun, para ulama lainnya berpendapat bahwa gelatin babi hukumnya haram dan najis, karena belum dianggap mengalami proses istihalah. Di antaranya adalah keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Organisasi Konferensi Islam) dan Al-Majma’ Al-Fiqhy Al-Islamy (Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy). Juga berdasarkan Fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia. Mereka berpendapat bahwa yang terjadi hanyalah proses pemisahan gelatin dari kolagen, dan tidak terjadi perubahan zat baru (belum mengalami proses istihalah), sehingga hukumnya tetap najis (haram).[8]
Setelah panjang lebar menjelaskan hukum peggunaan gelatin babi dalam obat dan makanan, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullau Ta’ala menyimpulkan dalam salah satu fatwa beliau lainnya tentang gelatin babi,
والحاصل : أنه لا يجوز تناول الأغذية والأشربة والأدوية المشتملة على الجلاتين المستخرج من جلود الخنزير والأعيان النجسة ، خاصة مع وجود البديل في الأنعام التي أحلها الله ، فمن الممكن أن تتم صناعة الجيلاتين من هذه الأنعام المذكاة ، وهي تؤدي نفس الغرض في صناعة الدواء أو الغذاء .
“Kesimpulannya, tidak boleh mengkonsumsi makanan, minuman, dan obat yang mengandung gelatin yang berasal dari kulit babi dan benda najis lainnya, khususnya ketika terdapat alternatif pengganti (berupa gelatin yang berasal dari) hewan yang Allah Ta’ala halalkan. Suatu hal yang mungkin untuk membuat gelatin dari hewan halal yang bisa disembelih, dan gelatin tersebut memiliki fungsi yang sama dengan fungsi gelatin babi dalam proses pembuatan obat dan makanan.” [9]
Setelah memaparkan kedua pendapat tersebut, Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA [10] menyatakan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang ke dua, yang menyatakan bahwa gelatin babi hukumnya najis dan haram. Pendapat ke dua ini juga didukung oleh sebagian besar para ulama fiqh kontemporer.[11]
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa hukum gelatin babi menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama fiqh kontemporer. Bahkan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafidzahullau Ta’ala pun tampaknya memiliki dua pendapat berbeda dan bertolak belakang dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini adalah biasa dalam ilmu fiqh. Penting untuk kami ingatkan, bahwa mereka semua -hafidzahumullahu Ta’ala- adalah para ulama. Bagi yang memilih pendapat bahwa gelatin babi haram, hendaklah menahan lisannya dari mencela para ulama yang menyatakan bahwa gelatin babi hukumnya halal. Janganlah mencela dengan mengatakan, misalnya, “ulama pro-babi”, “ulama yang tidak 100% berpegang teguh dengan syariah”, atau celaan-celaan semacam itu.
Bagi yang memilih pendapat pertama (bahwa gelatin babi halal), maka tentu tidak masalah dengan obat, makanan, atau vaksin yang mengandung gelatin babi. Meskipun menghindarinya tentu lebih baik, dalam rangka kehati-hatian. Lalu, bagaimana yang meyakini atau lebih memilih pendapat ke dua?
Jika Vaksin yang Mengandung Gelatin Babi (porcine-derived gelatine) Hukumnya Haram
Berdasarkan pendapat ke dua di atas, maka hukum vaksin yang mengandung gelatin adalah haram. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif vaksin merk lain yang sejenis yang tidak mengandung gelatin, dan alhamdulillah sudah tersedia di pasaran. Jika terdapat vaksin merk tertentu (untuk jenis yang sama) yang tidak mengandung gelatin, maka dapat menggunakan alternatif (halal) tersebut sehingga tetap dapat melakukan vaksinasi. Contoh, karena vaksin MMR merk VaxPro® atau MMR II® mengandung gelatin babi, maka bisa menggunakan vaksin MMR merk lain yang tidak menggunakan gelatin babi, misalnya merk Priorix® atau Trimovax®.[12] Vaksin varicella yang tidak mengandung gelatin juga tersedia, yaitu merk Varilrix®. Adapun vaksin tifoid, alternatif yang tidak mengandung gelatin antara lain merk Typhim Vi®. Demikian juga vaksin influenza, terdapat alternatif lain yang tidak mengandung gelatin, misalnya merk Influvac®. Inilah sikap seorang muslim, yaitu memilih yang lebih baik dan lebih selamat untuk diri dan agamanya.
Kesimpulan
Merk vaksin yang mengandung gelatin tidak banyak, itu pun sebagian besar adalah vaksin-vaksin yang belum masuk dalam program imunisasi wajib (vaksin yang disubsidi oleh pemerintah) di Indonesia. Vaksin yang termasuk dalam program imunisasi rutin, seperti vaksin BCG, DTP, hepatitis B, polio, tidak mengandung gelatin. Demikian juga vaksin meningitis (Mencevax, Menveo) [sebagai salah satu syarat haji dan umroh], vaksin rotavirus (Rotarix, RotaTeq), vaksin hepatitis A (Havrix), vaksin HiB (HiBerix), diketahui tidak mengandung gelatin. Sebagian jenis vaksin yang mengandung gelatin, ternyata ada alternatif merk lain yang tidak mengandung gelatin.[13] [14]
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kaum muslimin.
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Catatan kaki:
[1] http://ift.tt/1P1i96i (diakses tanggal 12 Desember 2015)
[2] http://ift.tt/1LT9AzI (diakses tanggal 12 Desember 2015)
[3] http://ift.tt/1P1i96k (diakses tanggal 15 Desember 2015)
[4] Lihat Al–Mawsu’ah Al–Fiqhiyah Al–Kuwaitiyah, 10/278-279.
[5] Dokumen pernyataan hasil konferensi tersebut dapat diunduh di sini:
http://ift.tt/1LT9CHK (diakses tanggal 12 Desember 2015)
[6] Misalnya link berikut ini:
http://ift.tt/1P1i6Yh (diakses tanggal 12 Desember 2015)
[7] http://ift.tt/1LT9AzL (diakses tanggal 12 Desember 2015)
[8] Fatwa lengkap dapat dilihat di buku Harta Haram Muamalat Kontemporer, karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA, cetakan ke enam, hal. 72-73.
[9] http://ift.tt/1P1i6Yi (diakses tanggal 12 Desember 2015)
Keterangan: Tampaknya, Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid memiliki dua pendapat yang berbeda dalam masalah gelatin (babi) ini. Wallahu a’lam.
[10] Beliau adalah salah satu ulama pakar fiqh kontemporer di Indonesia. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga beliau.
[11] Harta Haram Muamalat Kontemporer, hal. 73-74.
[12] http://ift.tt/1P1i96i (diakses tanggal 12 Desember 2015)
[13] Komposisi beberapa merk vaksin, apakah mengandung gelatin ataukah tidak, bisa dilihat di sini:
http://ift.tt/11tHi4T (diakses tanggal 12 desember 2015)
[14] Tulisan ini merupakan salah satu pembahasan yang terdapat di buku kami, “Islam, Sains, dan Imunisasi: Mengungkap Fakta di Balik Vaksin Alami.” Buku tersebut saat ini masih kami susun bersama tim penulis yang lain. Semoga Allah Ta’ala memudahkan penyelesaiannya.
*****
Silahkan like page Majalah Kesehatan Muslim dan follow twitter.
Ingin pahala melimpah? Mari berbagi untuk donasi kegiatan Kesehatan Muslim. Info : klik di sini.
from Kesehatan Muslim http://ift.tt/1Srr1nE