Hari hari pertama pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, di Puskesmas tidak terlalu terasa ada yang berubah. Pasien umum masih datang dan membayar retribusi seperti biasa. Pasien jamkesmas dan askes pun masih berobat seperti biasa. Tidak ada instruksi khusus kepada kami petugas di Puskesmas.
Hingga akhirnya , beberapa pasien jamkesda datang kembali ke Puskesmas. “Dok, katanya kartu jamkesda tidak berlaku. Sekarang yang berlaku JKN itu dok. Saya disuruh RSUD buat daftar ke Askes atau BPJS gitu dok, bayar iuran 25.000. gimana ini dok? “
Setelah dikonfirmasi ke bagian pembiayaan Dinas Kesehatan, ternyata khusus untuk peserta jamkesda, harus ada keterangan pengantar dari Dinas Kesehatan agar tetap terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran.
Kasus lain, di tempat lain, beberapa pasien yang punya kebiasaan “berangkat dulu surat rujukan menyusul” dan kebetulan bukan kasus emergency, kini juga dikembalikan ke Puskesmas. Pasien yang bisa dilayani di UGD Rumah Sakit hanya pasien dengan kondisi emergency. Status pasien “false emergency” yang biasanya tetap dilayani, kini harus berbesar hati untuk dikembalikan ke Puskesmas.
Tentu perubahan ini tidak bisa dikatakan nyaman. Baik bagi dokter, apalagi pasien.
Bagi dokter, jika pasien sudah datang “masak” iya mau dipulangkan? Masalahnya adalah, dalam JKN ini kondisi emergency yang tidak dirawat inap, tidak bisa diklaim ke BPJS. Dan, kriteria kondisi emergency pun berbeda antara kriteria BPJS, kriteria RS dan kriteria (persepsi) pasien.
Untuk beberapa orangtua, anak demam tinggi satu hari, mungkin sudah terasa sebagai satu kondisi emergency. Tapi tidak menurut kriteria RS dan BPJS . Perbedaan antara persepsi, harapan dan kenyataan ini yang menjadi potensi konflik sosial. Apalagi jika “beruntung” bertemu dengan LSM atau anggota dewan yang tidak paham duduk masalahnya.
Tidak jarang, beberapa Rumah Sakit mengambil jalan tengah. Supaya tetap bisa diklaim ke BPJS, pasien yang sebenarnya tidak perlu dirawat inap, “terpaksa” dirawatinapkan sementara. Pasien terlayani, RS tidak rugi. Tapi efeknya adalah, daftar antrian rawat inap semakin panjang. Tentu hal ini merugikan pasien pasien lainnya yang benar benar memerlukan rawat inap.
Menyikapi hal ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan segera
1. Edukasi kepada calon peserta JKN tentang manfaat kepesertaan dan alur rujukan. BPJS harus transparan dan “haram” hukumnya memberikan janji bahwa semua bisa terlayani.
2. Edukasi masif dari kemenkes dan jajarannya, tentang “Kondisi Gawat Darurat” kepada masyarakat, baik melalui media massa maupun kegiatan kegiatan promosi kesehatan. Edukasi mencakup definisi gawat darurat, hal yang termasuk kondisi gawat darurat, hingga pertolongan pertama dan kemana masyarakat harus mencari pertolongan.
Sistem Call Centre SPGDT (Sistem Penanggulangan Gawat Darurat) seperti yang pernah dilaunching oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat tahun 2012, dapat diefektifkan dan dioptimalkan untuk menjadi tempat konsultasi pertama masyarakat tentang kondisi gawat darurat
3. Pemenuhan kebutuhan PPK 1 yang bekerja sama dengan BPJS.
Di pekan awal pelaksaanaan JKN ini, BPJS nyaris hanya mengandalkan Puskesmas. BPJS belum membuka kerjasama dengan provider baru. Peserta pun belum dibagi oleh BPJS. PPK1 seolah olah diminta “promosi” sendiri untuk mendapat peserta. Padahal di saat yang bersamaan, banyak puskesmas yang memiliki peserta lebih dari 10.000 dengan jumlah dokter hanya 1 orang saja. Tentu hal ini tidak sesuai dengan konsep 1 dokter menangani 3000 peserta.
Selain hal ini membebani dokter di Puskesmas, tentu saja hal ini berefek pada kualitas pelayanan peserta JKN di Puskesmas. Potensi konflik sosial besar sekali terjadi di sini.
BPJS harus lebih cepat bergerak membuka kerjasama dengan provider baru, dan membagi kepesertaan BPJS. Bahkan jika di suatu wilayah tidak ada PPK yang siap bekerjasama, BPJS harus berani berivestasi atau memberikan insentif untuk PPK1, agar peserta JKN tetap terlayani sesuai janji janji BPJS. Tentu saja bukan dengan cara meminta dokter promosi mencari peserta sendiri. Kewajiban untuk mencari peserta ini ada pada Pemerintah dan BPJS.
4. Rumah Sakit harus mulai memiliki data contoh contoh kasus false emergency yang paling sering datang ke UGD RS agar menjadi prioritas edukasi ke masyarakat. Data tentang kondisi emergency yang tidak memerlukan perawatan inap pun harus terekam dengan baik, untuk disampaikan kepada BPJS agar dapat masuk dalam revisi paket INA CBG’s.
5. Pemerintah daerah harus aktif menyelesaikan peraturan peraturan hukum pelaksanaan JKN di daerahnya. Masyarakat miskin yang tidak terdaftar sebagai PBI dari APBN, harus segera diberikan kejelasan nasibnya. Pemerintah daerah harus berani Jujur dengan Jaminan Kesehatan Daerah yang selama ini mereka promosikan. Jangan berlindung di balik topeng pencitraan dan membiarkan petugas kesehatan dan masyarakat saling bergesekan.
Kelengkapan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan JKN di daerah harus menjadi prioritas. Termasuk ketersediaan SDM Kesehatan dengan jaminan penghargaan profesi yang layak dan perlindungan hukum.
Lalu.. apa tugas elemen masyarakat yang lain..?
….sangat terbuka untuk didiskusikan…