Pekan pertama pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, terjadi kegaduhan yang luar biasa di dunia layanan kesehatan negeri ini. Kegaduhan di dunia maya berjalan paralel dengan yang terjadi di dunia nyata.
Seorang dokter di IGD Rumah Sakit Swasta mengeluhkan kekakuan aturan BPJS yang cukup memusingkan. Jika sebelumnya dia cukup berpikir bagaimana agar pasien tertangani dengan baik, kini dia harus ikut berfikir supaya pasien tidak gagal klaim sesuai pesan manajemen. Belum lagi kebingungan yang muncul ketika pasien perlu dirujuk. Aturan rujukan berjenjang yang simpang siur menyebabkan dokter IGD kesulitan mencarikan perawatan terbaik segera untuk pasien. Kerepotan semakin nyata terlihat di Rumah Sakit Umum Pusat dimana tidak bisa lagi merujuk kemanapun, karena “katanya” juga tidak diperkenankan mengalihrawat pasien ke RS yang tipenya lebih rendah meski untuk sekedar kasus yang tidak memerlukan tindakan subspesialis.
Tidak sedikit pula kepusingan yang terjadi di ruang administrasi. Pasien stroke yang hasil CT scannya tidak menunjukkan gambaran stroke, gagal verifikasi dan dinyatakan tidak bisa diklaim oleh pihak BPJS setempat. Pasien rencana eksisi tumor mammae tertunda rencana operasinya karena pihak verifikator tidak menemukan paket diagnosa yang dimaksud sehingga belum di acc penjaminan operasinya. Ada beberapa tindakan yang belum “nyambung” dengan koding software INA CBGs. Hal ini cukup menghambat proses persetujuan penjaminan tindakan di lapangan.
Di tempat lain, seorang sejawat kesulitan memberikan tatalaksana obat tertentu yang esensial dibutuhkan pasien. Obat tersebut tidak dikeluarkan pihak apotik dengan alasan obat tidak tercantum di formularium nasional BPJS. Menurut informasi yang dia dapat, “katanya” pasien peserta BPJS hanya boleh diresepkan obat obat yang tercantum di formularium nasional, tidak boleh di luar itu. Ketika diskusi ini muncul, teman di Rumah sakit lain menyampaikan pengalaman yang berbeda, di tempatnya bekerja ada obat yang boleh diresepkan asal masih masuk plafon harian. Jadi kalau rawat jalan dan plafonnya sudah habis, diatur supaya pasien datang lagi untuk menebus obat besok. Begitu juga dengan tindakan diagnosa, karena dibatasi plafon harian, pasien terpaksa bolak balik untuk tahapan konsultasi, pemeriksaan penunjang dan menebus resep. Akibatnya antrian Rumah Sakit semakin penuh setiap harinya. Sampai ada ‘kelakar ironi’ sejawat, “kalau keadaan begini terus, bisa bisa pasien yang tadinya gagal ginjal stadium awal, jadi gagal ginjal stadium lanjut gara gara kelamaan ngantri.’
Jika demikian, BPJS ini bukan menguntungkan dong, justru malah “membunuh”
Begitulah cerminan pelaksanaan suatu sistem yang tidak dipersiapkan apalagi disosialisasikan dengan baik. Akibatnya banyak elemen yang mengalami “jetlag” dengan perubahan kondisi. Ditambah tidak ada kejelasan sumber informasi yang dapat dipercayai sebagai sumber rujukan yang shahih. Bahkan jawaban dari hotline BPJS bisa berbeda dengan jawaban petugas BPJS yang ada di wilayah.
Kesimpangsiuran sistem rujukan, ketidaksiapan software, kesimpangsiuran aturan hukum, perbedaan MoU tiap RS dengan BPJS membuat banyak pihak bermain kaku dalam era peralihan ini. Lagi lagi pasien terancam menjadi pihak yang paling dirugikan. Dokter pun merasa kewajiban profesionalnya dalam mengelola pasien terpenjara oleh paket paket InaCBGs.
Apakah INA CBGs benar benar merugikan ?
Sistem Case Based Group ini dalam sebuah paper yang diterbitkan WHO disebut cukup menjanjikan di “low and middle-income countries”
Menurut pendapat dr. Dadang Rukanta, SP.OT (Wadir Yanmed RS Al Islam Bandung) efisiensi yang menjadi makna dalam INA CBGs ini bukan berarti ngirit, tapi kendali mutu dan kendali biaya. Berdasar Analisis manajemen RSAI, hampir 40% pemeriksaan (lab ront) yg dilakukan mubazir (tdk perlu), 30% poli farmaka dan setidaknya 20% R/ tidak tepat belum lagi yang duplikasi. Sistem ini mendorong dokter untuk mempertajam kemampuan klinis. Pemeriksaan dan terapi berdasarkan indikasi dan EBM, pilihan terapi yg paling murah dgn hasil optimal. Direktur RSKIA Kota Bandung, dr. Nina Manarosana, M.Kes pun mengungkapkan pengalamannya dengan sistem INA CBGs, dengan kendali mutu dan kendali biaya yang baik, pendapatan Rumah Sakit meningkat drastis dalam 3 tahun terakhir, jasa medis tenaga kesehatan bisa dibayarkan dengan tepat waktu dan meningkat dibanding sebelumnya, tingkat kepuasan pasien pun membaik. Dr. Nina pun menjelaskan, sistem ini mengajak Rumah Sakit untuk mulai meninggalkan model jasa medis yang fee for service menjadi remunerasi.
Jika kedua Rumah Sakit tersebut memberikan testimoni yang cukup menjanjikan, lalu mengapa di tempat lain yang didapat justru kekisruhan di sana sini?
Sistem baru ini, memerlukan kendali mutu dan kendali biaya yang baik. Permenkes tentang juknis pelaksanaan baru dikeluarkan di injury time tahun 2013, softwarenya pun belum semua diterima dengan baik di beberapa Rumah Sakit. Kedua Rumah Sakit yang dicontohkan di atas, sudah melakukan uji coba bertahun tahun bekerjasama dengan ASKES dan Jamkesmas, jadi jatuh bangun upaya penyesuaian pun sudah dihadapi. Di masa transisi seperti ini, baik sekali jika dibuka ruang ruang “toleransi” dalam perjanjian kerjasama antara BPJS dengan RS. Misalkan, di tahun pertama kerjasama ini, RS tetap diperbolehkan mengenakan iur terhadap selisih biaya pelayanan yang melebih paket INA CBGs. Dalam masa transisi ini, RS diberi kesempatan untuk mendapatkan pola kendali mutu dan kendali biaya yang tidak merugikan pasien, BPJS pun dapat mengambil data data rerata selisih nilai pembiayaan tersebut untuk menjadi dasar revisi tarif INA CBGs yang menurut kabar dibuat kejar tayang pula. Baik dr. Dadang maupun dr. Nina pun menjelaskan, di draft MoU yang dibuat PERSI, peluang “keleluasaan” itu bisa dibuat dengan semangat Win win solution bersama kepala Askes Cabang (yang kini berubah menjadi BPJS).
Pemerintah pun tak bisa kemudian lepas tangan sebagai regulator dengan kemudian membiarkan BPJS dan Rumah Sakit menemukan pola kerjasamanya sendiri. Sudah kita mafhumi bersama, harga obat dan alkes di Indonesia banyak yang berada di luar batas kewajaran. Jenis obat yang sama, bisa dijual dengan harga seperlimanya di Malaysia. Begitu juga dengan biaya pemeriksaan dengan alat alat diagnostik yang canggih. Pemerintah harus segera melakukan kebijakan yang progresif terkait pengendalian harga alkes dan obat ini. Indonesia punya banyak ahli di bidang farmasi, berlimpah ilmuwan di bidang fisika dan teknik medis, seharusnya upaya produksi obat dan alkes dalam negeri bisa dioptimalkan alih alih selalu tergantung dengan bahan impor. Rumah Sakit pun perlu mengefektifkan pengadaan alkes dan farmasi. Sudah menjadi rahasia umum, di Rumah Sakit pemerintah seringkali pengadaan alkes menjadi lahan korupsi berjamaah. Proaktifnya KPK dalam penyelidikan hal ini seperti yang menjerat keluarga Ratu Atut di Banten sangat baik jika dilakukan di instansi instansi kesehatan pemerintah lainnya. Regulasi lain yang sifatnya solutif fasilitatif non intimidatif pun perlu dilakukan Pemerintah agar semakin banyak RS swasta yang bersedia bekerjasama dengan BPJS. Jika upaya ini tidak dilakukan bukan tidak mungkin RS pemerintah keburu lumpuh karena ancaman dari KAJS (Komite Aksi Jaminan Sosial) untuk menduduki RS jika masih ada pasien ditolak tidak mungkin terelakkan.
Disisi lain, ketajaman klinis dokter harus terus diasah. Sistem yang ada akan membuat dokter cermat memilih pemeriksaan penunjang dan obat yang diperlukan. Kebiasaan sebagian dokter yang mudah mengkonsul kasus ke sejawat lain atau mengelola pasien dengan kordinasi yang minimal harus ditinggalkan di era kendali mutu dan biaya ini. Namun hal yang tidak kalah penting di era baru Jaminan kesehatan ini adalah adanya jaminan basic salary yang layak untuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Dengan nilai keekonomian yang masih belum sesuai dengan rekomendasi DJSN, sistem yang ada seringkali meletakkan komponen jasa medis menjadi bagian yang paling terakhir dihitung. Pola yang umum digunakan saat ini adalah total klaim INA CBGs biasanya dikurangi dulu dengan pengeluaran untuk alkes dan famasi, sisanya itulah yang dihitung menjadi jasa medis yang dibagi lagi untuk komponen pelayanan langsung juga tidak langsung. Tanpa jaminan basic salary yang layak, peluang moral hazard dari petugas kesehatan sulit dikendalikan. Di era jamkesmas yang lama, beberapa kali baik dokter umum dan spesialis di RS pemerintah menunjukkan total jasmednya setahun tidak lebih besar dari gaji sebulan supir bus way di jakarta. Ketidakpastian penghargaan profesi ditambah dengan tidak adanya kepastian perlindungan hukum dari sistem terhadap dokter seperti yang terjadi pada kasus dr.Ayu, alih alih mempertajam kemampuan klinisi justru membuat dokter semakin terpenjara profesionalismenya.
Faktor lain yang perlu dikuatkan adalah faktor “TRUST”. PT Askes yang ganti baju menjadi BPJS tentu harus mampu menjawab kekhawatiran potensi korupsi dari pengumpulan dana rakyat besar besaran melalui JKN ini. Terlebih dengan isu gaji Direkturnya yang menembus angka ratusan juta, gaji pegawainya yang berada di atas rerata gaji tenaga kesehatan, kemudian MoU yang kaku di beberapa tempat, kecurigaan adanya penyimpangan uang rakyat tentu saja ada. Kepercayaan ini bisa dibangun dengan membuka laporan keuangan terakhir PT Askes kepada publik dan adanya auditor independen yang mengawasi pengelolaan uang rakyat ini kepada BPJS. Persi sebagai asosiasi yang resmi ditunjuk Pemerintah bernegosiasi tarif dengan BPJS perlu melakukan terobosan yang informatif, solutif dan fasilitatif kepada seluruh RS yang ada di Indonesia agar kecurigaan bahwa Persi tidak independen dan hanya menjadi alat pemerintah bisa ditepis. Jika faktor trust ini tidak diperhatikan, JKN ini akan berat sekali perjalanannya.
Terakhir, ribut ribut JKN ini tentunya tidak boleh meninggalkan kewajiban semua pihak untuk melakukan upaya Promotif dan pencegahan di bidang kesehatan. Meskipun JKN ini nantinya berjalan baik dan alhamdulillah tidak keburu chaos, bagaimanapun mencegah lebih baik daripada mengobati, Sehat jauh lebih baik daripada Sakit. Betul kan?
_____________________________________________________
Disarikan dari diskusi di grup Prokami, Alumni Assyifa FK Unpad, DIB dan FULDFK
Prokami, Sinergi Sehatkan Negeri